Oleh : KH. Nungcik Ibrahim
Bismillahirrahmanirrahim
Seri : 30 Hari Merajut Nilai Nilai Puasa/Shaum
Hari ke-enam
Tema : Shaum Menjadikan pribadi menjadi Adil Terhadap Diri Sendiri Dan Orang Lain
Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk tidak berlaku adil. Berlaku adil-lah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu perbuat( 5 : 8)
Dipenjelasan ini, kita di tuntut untuk dapat memahami secara benar maksud dan tujuan diwajibkan shaum/puasa. Shaum/puasa merupakan sebagai instrumen atau alat untuk derajat mencapai takwa. Jadi jangan sampai kita hanya untuk menjalankan perintah shaum hanya sampai pada tingkat batas instrumen itu.
Jadi sangat penting dipahami bahwa takwa mengandung pengertian, takut, melindungi (protection), memelihara, menjaga, sabar, lemah lembut, kasih sayang, perhatian dan lain sebagainya dari segala sifat terbaik. adapun takwa dalam pengertian yang lebih mewakili adalah gambaran sikap dan kesadaran yang tinggi akan kehadiran Allah SWT dan Allah ada di mana-mana, Maha Mengetahui, Maha Kuasa dan Sifat Allah Yang Maha lainya. Dengan memahami segala sifat Allah SWT itu, artinya takwa itu pengawasan diri secara melekat
Shaum/puasa mendidik seseorang untuk selalu bersikap tulus , jujur dan adil. kepada diri sendiri dan juga kepada orang lain. Ketiga hal tersebut adalah dimensi moral dan akhlak yang sangat penting. Dari ketiga hal itu merupakan modal utama dalam menjalani segala aktivitas kehidupan agar sukses di dunia maupun akhirat. Kebalikan dari semua itu adalah dusta atau berbohong. Sikap berbohong seperti yang diilustrasikan Rasulullah shalallahu alaihi wasallam, adalah sikap tak bermoral dan berakhlak. Itulah sebabnya, dalam kehidupan sehari-hari, orang yang pandai berdusta dikatakan sebagai orang yang tidak memiliki moral dan akhlak. Dari sebuah hadits Rasulullah shalallahu alaihi wasallam mengingatkan bahwa sesungguhnya dusta atau berbohong adalah titik tolak atau pangkal seluruh perbuatan dosa
Dalam hadist disebutkan, Pangkal dosa adalah dusta
Para Ulama terdahulu, menyatakan bahwa orang yang berdusta itu sama saja dengan orang kafir Ini terhimpun di dalam sebuah hadits Rasulullah shalallahu alaihi wasallam, Seorang beriman tidak dikatakan ia beriman, ketika ia melakukan kejahatan, baik mencuri, berzina, maupun mabuk mabukan dengan sendirinya ia telah kufur, yakni kufur dalam makna ia telah menutupi kesadaran dirinya bahwa Allah SWT ada dan selalu mengawasi dan mengetahui segala perbuatan dirinya, dalam arti hakikatnya ia telah mendustakan Allah meniadakan Allah SWT sama sekali.
Dengan demikian, secara otomatis, siapa saja yang melakukan dosa dan kemudian mati pada saat sedang melakukan hal itu, ia akan mati dalam keadaan kafir. Ia mencuri kemudian mati, dapat dikatakan kafir. Orang yang melakukan korupsi kemudian mati, maka ia kafir dan seterusnya, karena dia hakikatnya telah mendustakan Allah SWT seperti contoh kehidupan yang tidak ada berkahnya baik dari sisi pandangan ruhani(langit) maupun di dalam pandangan bumi (kehidupan phisik) saat mereka berdusta, bahkan azab selalu menyertai mereka, hidup susah, gelisa, stres dan sebagainya (lihat 7:96)
Jujur, tulus dan adil, termasuk sifat Rasulullah shalallahu alaihi wasallam yang harus kita teladani. karena sifat itu merupakan sifat Budi pekerti yang agung (68:4)
Takwa dari hasil olah Puasa Remadhon mengandung implikasi moral dan akhlak Karimah, seperti tulus, jujur, dan adil sebagai wujud dimensi kemanusiaan
Banyak yang menjalankan ibadah puasa tetapi tidak mendapatkan sesuatu dari puasanya melainkan lapar dan haus saja artinya mereka tidak mendapatkan sifat takwa yang di dalamnya banyak mengandung nilai-nilai luhur seperti yang di sebutkan di atas. Puasa melatih pengendalian diri yang memiliki konsekuensi sangat penting, yakni, memunculkan kondisi psikologis berupa kesadaran diri yang berwujud komitmen sosial, rasa empati, dengan sikap tulus, jujur dan adil yakni, kondisi psikologis ikut merasakan yang dirasakan oleh orang lain, dan itulah salah satu hikmah Remadhon.
Banyak di dalam Al-Qur’an teguran kepada orang yang menjalankan amalan(ibadah) yang berdimensi vertikal tapi tidak diimbangi dengan dimensi horizontal. Mereka itu di dalam idiom al -Qur’an disebut sebagai orang yang mendustakan agama
Tahukan kamu, orang yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim dan tidak memberikan makan orang miskin Maka masuk neraka weil-lah (celaka dari segala kondisi apapun) bagi mereka yang sholat, yakni ia lalai dari refleksi sholatnya( 107 : 1-5)
Kenapa dikatakan ia celaka padahal ia sholat? Ternyata ini berkaitan erat dengan pemahaman subtansi dalam mendirikan sholat. Ia mendirikan sholat hanya sebagai ritual pribadi dan tidak diiringi oleh dimensi konsekuensialnya, yakni amal Sholeh
Kita lihat beberapa kata Adil dalam kontek Al Qur’an dan lainnya. Dalam surat Al-Maidah ayat 8 ini. Pakar Tafsir M. Quraish Shihab menjelaskan tentang harus berlaku adil terhadap istri dan keluarganya. Beliau menjelaskan kata Qawwamin yakni orang orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi Qawwamin yakni orang-orang yang selalu dan bersungguh-sungguh menjadi pelaksana yang sempurna terhadap tugas tugas kamu terhadap wanita dan pihak lainnya, dengan menegakkan kebenaran demi Allah, serta menjadi saksi dengan adil janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk tidak berlaku adil, baik terhadap kebencian keluarga istri kamu maupun yang bukan keluarga kamu. Berlaku adil-lah walau terhadap dirimu sendiri, karena adil lebih dekat kepada takwa yang sempurna daripada tidak adil.
Karena sebenci apapun kita kepada seseorang diingatkan adalah keharusan melaksanakan segala sesuatu demi karena Allah, sehingga hal yang mendorong kebencian akan ditinggalkan.
Juga kasih sayangmu terhadap karib-kerabat dan orang lain, jika mereka bersalah, kita tidak akan menghukumnya, Hal ini akan berdampak buruk pada ujungnya. Maka adil adalah menempatkan segala sesuatu pada tempatnya. Jadi jika seseorang memerlukan kasih-sayang, maka dengan berlaku adil kita dapat mencurahkan kasih kepadanya, tetapi jika seseorang itu melakukan pelanggaran dan wajar mendapatkan sanksi yang berat, maka ketika itu kasih -sayang tidak boleh berperan karena ia dapat menghambat jatuhnya ketetapan hukum atasnya, dan ini akan berdampak buruk pada akhirnya bagi seseorang yang bersalah tersebut. Ketika itu yang dituntut dari kita adalah adil yakni menjatuhkan hukum yang setimpal atasnya.
Dalam Kitab tafsir Sya’rawi dijelaskan kata Qawwam yang artinya selama kamu memiliki kemampuan untuk berbuat, maka berbuatlah, (jangan malas untuk tidak berbuat) Tetapi janganlah kamu berbuat hanya sekedar untuk kebutuhan dirimu saja, berbuatlah Sedaya mampumu(Qawwam) untuk kepentingan atau kebutuhan orang lain juga. Karena kenapa Allah SWT menyuruh kamu bertindak Qawwam apabila kamu berbuat sekedar untuk memenuhi kebutuhan kamu sendiri, maka orang yang tidak mampu bekerja tidak akan mendapatkan sesuatu yang dapat menyambung kehidupan mereka Jika ini terjadi terhadap dirimu, maka Kamu telah bersikap tidak adil.
Jadi berbuatlah semampumu (Qawwamin) agar kamu dapat berbuat banyak untuk orang lain di samping kamu telah berbuat banyak kepada keluargamu. Hasil pekerjaanmu yang lebih itu, dapat digunakan untuk orang lain. inilah maksud dari pada kalimat Hendaklah kamu jadi orang orang yang selalu menegakkan kebenaran karena Allah dan menjadi saksi dengan adil karena di kalimat ini tersirat, Bahwa kita berkerja untuk Allah SWT, bukan untuk siapa siapa Karena Allah SWT tidak akan menyia-nyiakan orang-orang yang berkerja untuk-Nya. Allah SWT berfirman, Ihsan akan dibalas dengan Ihsan ( 55:60)
Ketika salah seorang dari kita telah menjadi Qawwam dan telah memahami sifat dan sikap adil berarti kita telah mempergunakan gerak hidup kita untuk kebaikan segala makhluk Allah SWT dan perbuatan inilah yang dituntut Allah SWT di setiap individu dari surat Al-Maidah ayat 8 tersebut.
Sya’rawi menjelaskan di dalam kitab tafsirnya, Kamu pun harus berusaha untuk mengajak orang lain agar menjadikan perbuatannya karena Allah, dengan cara kamu selalu menjadi saksi yang adil. Ketika kamu telah menjadi saksi yang adil, maka orang yang dhalim tidak akan berkepanjangan dalam melakukan kedholimannya karena kedholiman dapat dilakukan berkepanjangan karena sudah tidak ada lagi yang menjadi saksi yang adil sehingga yang ada adalah menutup-nutup keselahan serta membohongi manusia.
Di dalam ayat yang lain banyak sekali tertera tentang yang di maksud dengan adil. Dari akar kata adil sebagai kata benda , kata ini disebut sebanyak 14 kali dalam al-Qur’an sedangkan kata yang mirip dengan kata adil atau mempertegas term adil yakni kata qisth diulang sebanyak 15 kali sebagai kata benda. Kata adil dinyatakan dengan istilah qisth guna lebih memahami arti kata itu secara lebih kontekstual Disurat al-A’raf 29 menjelaskan bahwa Allah SWT menyuruh orang menjalankan keadilan.
Secara konkret, yang disebut keadilan (qisth) itu adalah : pertama, mengkonsentrasikan perhatian dalam sholat hati hanya tertuju kepada Allah SWT. Kedua. mengikhlaskan ketaatan hanya kepada Allah SWT. Maksud lain keadilan pada ayat di atas adalah taat dan ikhlas kepada Allah SWT. Ketaatan yang ikhlas itu adalah tidak berbuat atau berkerja untuk diri sendiri atau orang lain dalam bentuk perbuatan apapun hanya berdasarkan diri yang berorientasi berkerja hanya kepada Allah SWT semata berbuat sesuatu karena diperintahkan oleh Allah SWT dan tidak berbuat sesuatu karena dilarang oleh Allah SWT jadi keadilan kedua dari ayat di atas merupakan konsekuensi keadilan pertama.
Jadi menurut konteksnya, keadilan dalam ayat di atas berkaitan dengan sikap terhadap diri sendiri. Manusia mempunyai hak dan harus menghormati hak atas dirinya sendiri, bila ia melakukan sesuatu perbuatan tidak atas dasar karena berkerja karena Allah SWT, maka orang yang bersangkutan tidak mengenal haknya, maka Allah SWT akan menuntut hak Allah atas diri seseorang tersebut. sebelum ia mengerti haknya, maka Allah SWT tidak akan mengembalikan hak kembali kepada orang yang bersangkutan. Contoh keadilan paling kecil terhadap diri sendiri jika kita berpakaian rapi dan memakai dasi ketika hendak menghadiri rapat atau pertemuan seseorang yang terhormat, maka itu tidak hanya berarti menghormati orang lain, tetapi juga menghormati diri kita .
Dalam ayat 31 dan 32 memberikan penjelasan yang lebih gamblang tentang keadilan terhadap diri sendiri. Hendaklah kita berpakaian indah untuk memasuki masjid. Selanjutnya Allah memerintahkan makan dan minum, namun dalam melakukan komsumsi itu hendaknya janganlah berlebih-lebihan Ini adalah sikap yang adiil disamping apa yang dilarang itu merupakan hal yang bakal merusak diri dikarenakan kita melakukan sesuatu yang tidak seimbang terhadap kebutuhan phisik dan juga berlebihan menimbulkan ketidak adilan terhadap orang lain yang juga menginginkannya. dengan menahan diri dengan dan bersikap seimbang kita telah melakukan dimensi keadilan.
Dalam 7 ayat 32 , Allah SWT sendiri tidak mengharamkan perhiasan atau harta benda lainya yang dicari dengan cara halal. semua hal itu untuk kehidupan sementara di dunia. Tetapi bagi orang yang beriman dengan sebenarnya, hal itu harus ada pertimbangan yang jelas, bahwa di samping adanya kehidupan dunia ada yang lebih indah dan lebih abadi dari dunia itu yani itu kehidupan akherat. maka menjadi keadilan baginya jika kehidupan di dunia ini dijadikan ladang akheratnya, namun jika ia hanya puas dengan kehidupan dunia tanpa memikirkan kehidupan akherat maka ia tidak bersikap adil terhadap dirinya sendiri
Banyak ayat ayar al-qur’an menyebut kan term adil ini, akan banyak memakan halaman di essay yang ringkas ini. Jadi kesipulan total, orang yang telah puasa dengan baik dan benar akan memiliki sifat dan sikap adil, yang merupakan bagian terpenting dari sikap takwa. Adil itu mendekati takwa maka jika kita belum mampu bersikap adil, artinya puasa kita hanya sebatas menahan lapar dan haus saja
selasa, 11 maret 2025 H/11 Remadhon 1446 H
disarikan dari buku saku Cak Nur, kitab tafsir Al-MIsbah, Quraish Shihab, kitab tafsir Sya’rawi, Ensiklopedi al-Qur’an tafsir sosial berdasarkan konsep-konsep Kunci, Prof. M.Dawam Rahardjo dan kitab tafsir al-Isyarat, karya penyusun sendiri.
Pangeran Halilintar (Wong Depok)

















